Pesantren dan Tradisi Lapis Spiritual

- Jumat, 24 Maret 2023 | 14:26 WIB
Kasubdit Kelembagaan dan Kerjasama Diktis Kementerian Agama, Thobib Al Asyhar. (Humas Kemenag)
Kasubdit Kelembagaan dan Kerjasama Diktis Kementerian Agama, Thobib Al Asyhar. (Humas Kemenag)

INFO INDONESIA. JAKARTA - Ramadan selalu mengingatkan saya tentang masa lalu. Masa saat saya mondok selama enam tahun di pesantren Futuhiyyah, Mranggen, Demak. Ingatan saya tentang masa itu masih tersimpan rapi, sehingga momen demi momen tak terlupakan hingga kini.

Secara umum, pesantren memang tempat menanam kesan. Kesan baik tentu saja, meski tetap saja ada sedikit kenangan buruk. Hal itu wajar karena hidup tidak selalu inline dengan harapan. Misalnya, ada santri-santri yang kena ta'zir potong gundul karena nonton film layar tancap di luar pondok.

Nah, saat Ramadan tiba, seakan seluruh kenangan itu muncul kembali. Dari hal sederhana hingga yang cukup kompleks. Ada rasa bahagia ketika mengingatnya. Kadang ada pula yang membuat saya tersenyum sendiri, seakan ingin jarum waktu kembali berputar ke belakang.

Lebih dari itu, ada satu kenangan yang terpatri hingga kini. Saya pun yakin, semua santri masih terngiang, yaitu wirid rutin membaca Al-Fatihah 1.000 kali selesai Subuh berjemaah. Setiap hari. Tidak ada jeda hari untuk libur membaca Al-Fatihah sebanyak 1.000, usai jemaah Subuh dan di satu waktu (sekali majelis).

Bisa dibayangkan, membaca Alfatihah 1.000 kali sekali majelis itu bukan hitungan menit. Membutuhkan minimal waktu sejam. Dan sekali lagi, itu dilakukan setiap hari, selepas Subuh. Rerata para santri yang jumlahnya ribuan di dalam masjid tidak semuanya "on" atau "sadar" sejak Al-Fatihah pertama hingga akhir. Ya, mayoritas santri mengantuk. Kenapa?

Semua tentu maklum. Aktivitas harian di pondok itu sangat padat. Mulai bangun tidur jam empat dini hari hingga jelang tidur jam 22.00 atau 23.00. Bahkan, sering santri begadang karena belajar atau sekadar ngobrol santai hingga larut malam. Selain mengaji kitab, sekolah, salat berjemaah, juga ada agenda-agenda rutin, seperti taklimul khithabah, bahtsul masail, kerja bakti, dan lain-lain.

Tentu, membaca wirid bukan tanpa tujuan. Wirid panjang ala pondok itu agar para santri memiliki lapis spiritual. Sebagai makhluk ruhani, manusia, khususnya santri harus dibekali dengan wirid-wirid khusus agar kelak memiliki kekebalan spiritual. Tidak mudah goyah oleh serangan materialisme. Pun pula tidak mudah roboh jika mendapat tembakan jahat yang tak nampak.

Bekal wirid santri bukan hanya itu. Selepas Maghrib, mereka juga dibekali wirid Ratibul Haddad. Salah satu zikir yang sering dibaca masyarakat Muslim dunia. Ratib ini disusun oleh salah seorang ulama terkemuka dari Hadramaut, yakni Abdullah bin ‘Alawi bin Muhammad al-Haddad.

Beliau adalah seorang mujaddid (pembaharu) di masanya. Karya tulis beliau terbilang cukup banyak dan tersebar di berbagai penjuru dunia, di antaranya adalah an-Nashaih ad-Diniyah, Risalah al-Mu’awanah, dan an-Nafais al-‘Alawiyah fi al-Masa’il as-Shufiyah.

Jadi, santri memang sangat lekat dengan wirid panjang. Bahkan, kompleks untuk tujuan yang banyak. Wirid yang bukan sekadar bacaan rutin tanpa maksud. Di balik rutinitas spiritual tersebut, ada makna yang begitu mendalam. Yaitu, para kyai ingin melapisi para santri secara spiritual dengan membiasakan wirid-wirid yang musalsal setiap kali selesai salat.

Wirid yang bersanad. Wirid yang memiliki kelekatan spiritual sebagai perisai diri. Tameng dari perilaku buruk agar santri tetap istiqamah menjalankan tiga prinsip utama hidup ala pesantren, yaitu Sun Three (tiga matahari, english), yaitu Iman, Islam, dan Ihsan.

Santri adalah sosok-sosok beriman, yang menjalankan Islam secara konsisten, dan melengkapi dengan Ihsan, yaitu perilaku mulia dengan akhlaqul karimah. Dengan wirid, para santri menjadi pribadi yang cerdas secara spiritual. Mereka memiliki kesalehan yang tidak luntur oleh zaman karena kuatnya lapisan spiritual.

Apalagi di momen Ramadan seperti saat ini. Seluruh amalan-amalan mulia, khususnya ibadah-ibadah sunnah dijalani dengan sepenuh jiwa. Santri yang istiqamah menjalani lakon wirid sebagai perisai spiritual akan tetap menjadi pribadi yang humble, menyenangkan, dan memiliki keterikatan untuk selalu memberi manfaat bagi sesama. Wallahu a'lam bish-shawab.

 

Halaman:

Editor: Rusdiyono

Tags

Terkini

Kesantunan Bermedsos

Jumat, 12 Mei 2023 | 23:00 WIB

Mengembalikan Fitrah Informasi

Jumat, 28 April 2023 | 23:45 WIB

Lebaran Bersama Muhammadiyah dan NU

Kamis, 20 April 2023 | 22:52 WIB

Kurikulum Merdeka dan Madrasah Mandiri-Berprestasi

Minggu, 16 April 2023 | 16:10 WIB

Memoderasi Tradisi Membangunkan Sahur

Senin, 10 April 2023 | 06:37 WIB

Untuk Dikerjakan Serius, Bukan Dibicarakan Terus

Jumat, 7 April 2023 | 14:31 WIB

Beragama di Era Google

Senin, 3 April 2023 | 08:52 WIB

Ramadhan dan Dakwah Transformatif

Jumat, 31 Maret 2023 | 19:08 WIB

Agama dan Sustainable Development Goals (SDGs)

Selasa, 28 Maret 2023 | 07:00 WIB

Jalan Tengah: Memberi dan Memberi

Senin, 27 Maret 2023 | 14:30 WIB

Mengapa Berpuasa?

Minggu, 26 Maret 2023 | 14:50 WIB

Pesantren dan Tradisi Lapis Spiritual

Jumat, 24 Maret 2023 | 14:26 WIB

Perselisihan Sastra Atau Politik

Jumat, 17 Maret 2023 | 00:09 WIB

Mimpi Prabowo dan Fenomena Anies

Senin, 6 Maret 2023 | 18:50 WIB
X