"KEMANUSIAAN yang adil dan beradab". Itulah salah satu sila dalam ideologi dan dasar negara kita, Pancasila.
Mengapa Tragedi Kanjuruhan terjadi? Sederhananya, barangkali karena kita tak menghayati nilai-nilai Pancasila, baik itu suporter, aparat keamanan, panitia pelaksana, ofisial, hingga pemain sepak bolanya.
Bukankah program Pelajar Pancasila sudah berjalan? Jangan sampai ia hanya sebuah jargon proyek kebudayaan di Tanah Air. Asosiasinya dalam konteks sepakbola Tanah Air akan muncul imajinasi bawah sadar, macam Pemain Pancasila, Wasit Pancasila, Pelatih Pancasila, Aparat Pancasila, dan Suporter Pancasila. Pendek kata, lahir manusia yang ber-Pancasila dalam segala lini kehidupan.
Dunia bertanya-tanya, bagaimana tragedi itu bisa terjadi ketika dua suporter pendukung klub yang bertanding tidak saling berhadapan?
Mencermati dinamika informasi di balik Tragedi Kanjuruhan, banyak komentar dan analisis yang muncul, tetapi mengapa selalu mengarah pada siapa yang salah, penyebab, dan yang bertanggung jawab? Mestinya peristiwa hitam di lapangan sepakbola Tanah Air itu bisa dijadikan cermin besar bagi siapa pun.
Maka kita bisa berenung: Untuk apa liga sepakbola digulirkan, klub-klub sepakbola didirikan, pelatih dan pemain didatangkan dan suporter diharapkan kehadirannya di lapangan?
Kita bisa berenung lanjutan begini. Sepakbola tanpa penonton akan hilang daya magisnya. Penonton tanpa kedewasaan akan menakutkan. Ketakutan yang tak dikelola secara dewasa akan menghancurkan. Tragedi Kanjuruhan, bagi saya, benar-benar memorak-porandakan hati nurani dan tidak masuk akal. Di manakah karakter ketimuran bangsa dan masyarakat kita?
Renungan berikut menarik didaras dalam-dalam, diolah dengan mesin logika kejujuran dan disuguhkan penuh dengan aroma cinta yang mendalam.
Pertama, ternyata kita belum dewasa dan belum profesional. Ini pesan pertama dari tragedi kemanusiaan di balik gelinding bola yang mestinya berkeadaban. Bahasa bolanya, fairplay. Kedewasaan butuh proses, karena itu butuh kesadaran dan waktu yang cukup. Kejujuran siapa pun yang terlibat penting dijadikan jembatan penyadaran diri. Apa, bagaimana, dan mengapa kita mestinya menyelenggarakan, menikmati, bermain dan mengawal sebuah pertandingan sepakbola.
Kedua, ternyata sepakbola berkaitan dengan kematangan psikologi pribadi, psikologi massa, dan psikologi aparat. Saya jadi ingat tulisan Limas Sutanto puluhan tahun lalu, bahwa bangsa kita adalah bangsa yang sakit jiwa. Benarkah demikian jika kita simak Tragedi Kanjuruhan?
Rupaya masih ada budaya saling menyalahkan, kurang saling terbuka, keinginan selalu menangguk keuntungan, dan jiwa yang tak mau bertanggung jawab dalam diri kita. Siapakah penonton yang pertama kali turun ke lapangan itu, siapakah aparat yang bermain kungfu, dan siapakah aparat yang pertama kali menyemprotkan gas air mata? Mereka tak pernah berpikir dampak psikologis massa, ketika hal itu dilakukan.
Akankah mereka menyadari bahwa ketakmatangan psikologis bisa menjelma ketakmatangan kejiwaan sosial? Bukankah emosi dan pikiran memiliki hukum tarik-menarik yang dahsyat. Tragedi Kanjuruhan tentunya menjadi bukti memilukan dari logika demikian.
Ketiga, jangan sampai kepentingan ekonomi mengalahkan kepentingan kemanusiaan. Panitia pelaksana menjual tiket di luar kapasitas, tidak menghiraukan pesan keamanan dan standar pengelolaan penyelenggaraan. Mari belajar pada klub-klub sepakbola dunia berikut penyelenggaraan yang lebih profesional, untuk perbaikan dan perubahan radikal ke depan. Tanpa kesadaran belajar demikian, tragedi macam Kanjuruhan sulit dihentikan.
Keempat, ternyata bahasa bisa mempengaruhi massa. Jika direnungkan, bagaimana pesan-pesan bahasa yang muncul dari bibir para suporter, aparat, dan panitia pelaksana di balik pengeras suara. Bahasa dan kata beraroma positif penting dipilih sebelum dikomunikasikan. Seringkali kerusuhan bermula dari bahasa emosional yang tak beretika, buruk, tak jernih, emosional, dan tak mencerminkan bahasa cinta. Cinta sepak bola tak boleh mengalahkan cinta sesama manusia. Bahasa jargon provokatif dari suporter, misalnya, penting mempertimbangkan nilai rasa dan jiwa kemanusiaan. Bukan sebaliknya, bernuansa arogansi kekuasaan dalam bentuk berbeda.