INFO INDONESIA. JAKARTA - Lautan Indo-Pasifik kian hari kian ramai dengan pentas persenjataan dan peralatan perang oleh militer negara-negara adidaya. Banyak pihak memprediksi eskalasi pamer senjata yang semakin intens berpotensi membangun militerisasi di lautan Indo-Pasifik. Kondisi ini menjadi tantangan Panglima TNI ke depan untuk memperkuat pertahanan negeri kepulauan ini dengan sabuk pertahanan.
Pada akhir Oktober lalu, Kementerian Pertahanan Jepang melaporkan bahwa mereka dimata-matai oleh kapal dari China dan Rusia secara terpisah. Pengintaian ini tercatat yang keempat. Jepang menilai ini bentuk ancaman pertahanan bagi Negeri Matahari Terbit itu.
China telah lama mulai berpatroli di Samudra Pasifik dalam jumlah besar. Patroli keamanan gabungan China-Rusia pertama di Pasifik Barat pada Oktober 2021 menimbulkan kekhawatiran aliansi Barat di bawah pimpinan Amerika Serikat.
Sejak invasi Rusia ke Ukraina, China telah memerintahkan badan keamanannya untuk waspada dan berulang kali mengirim kapal angkatan laut ke selat dekat Taiwan. China adalah kekuatan angkatan laut terbesar di dunia sejak 2020. Saat ini, angkatan laut China memiliki lebih dari 500 kapal dan sekitar 330.000 personel angkatan laut aktif yang kuat.
Amerika Serikat dan Jepang adalah negara yang paling getol melakukan perlawanan terhadap upaya angkatan laut China di dekat Taiwan.
Sementara, Australia mengambil garis pertahanan yang cukup jauh dari garis batas negaranya untuk melawan dominasi angkatan laut China melalui aliansi AUKUS (Australia, Inggris, dan US) dan Five Power Defence Arrangements (FPDA) yang beranggotakan negara persemakmuran Inggris, yaitu Australia, Inggris, Singapura, Malaysia, dan Selandia Baru.
Lalu, pada Juni 2022, muncul prakarsa perkumpulan Quad yang terdiri dari Amerika Serikat, Jepang, Australia, dan India, yang ingin bersama-sama memantau pergerakan kapal dan kapal selam di Indo-Pasifik menggunakan satelit. Program ini diprakarsai oleh angkatan laut negara-negara anggota Quad.
Kawasan Asia-Pasifik saat ini sedang dalam perebutan kekuasaan oleh negara-negara adikuasa China, Rusia, dan Amerika Serikat. Proksi konfliknya adalah Korea Utara dan Selatan, kebijakan keamanan Jepang terhadap China, Taiwan, Sri Lanka, Pakistan dan Afghanistan, antara lain.
Secara objektif hal ini menjadi ancaman besar bagi Indonesia yang wilayah lautnya sangat terbuka terhadap penetrasi negara-negara yang sedang bersaing tersebut. Dengan persenjataan yang dimiliki saat ini, Indonesia berada dalam posisi berdiri di antara dua gajah militer Amerika Serikat dan China.
Di tengah situasi yang demikian, prioritas pengamanan laut dan penguatan interoperabilitas lintas matra udara dan juga darat adalah pilihan yang tidak bisa ditawar demi meningkatkan daya serang jika perang benar-benar terjadi. Dalam konteks itu, program Revolution in Military Affairs (RMA) yang telah diawali oleh Pemerintah Indonesia perlu ditinjau dan diperkuat kembali dalam bingkai sabuk pertahanan negara kepulauan.
Sabuk pertahanan negara kepulauan adalah satu konsep yang ditawarkan penulis untuk mengoptimalkan kekuatan militer Indonesia, baik di darat, laut, maupun udara: sea power, air power dan land power.
Sea power dimaknai instrumen penting dalam mewujudkan sabuk pertahanan untuk membangun poros maritim dunia. Sea power adalah sarana yang digunakan negara untuk mengerahkan kekuatan militernya di dan atau lewat laut. Ukuran kemampuan sea power dari pesaing atau rivalnya dengan berbagai macam instrumen, antara lain peralatan tempur dan persenjataan, bantuan peralatan tempur lainnya, perdagangan, pangkalan dan personel yang terlatih.